:: Untuk Muaturun MP3 Kegemaran Anda, Klik Kiri Pada Tajuk Lagu. Anda Kemudiannya Akan Dibawa Ke Halaman Untuk Memuaturun MP3 Tersebut ::

Senin, 16 Januari 2012

Reposisi HMI dalam Konteks Kekinian


Oleh: Eka Nada Shofa Alkhajar
Akbar Tanjung dan Nurcholish Madjid pernah mengatakan bahwa kiprah HMI dalam perjuangan sangat aktif, melebihi organisasi mahasiswa yang lain. Dimana HMI telah 50 tahun lebih menghadirkan dirinya di tengah-tengah masyarakat Indonesia sehingga keduanya pun mengatakan tidak berlebihan kalau dikatakan sejarah HMI adalah bagian logis dari sejarah bangsa Indonesia (dalam Ali, 1997; Madjid, 1990). HMI adalah organisasi besar, organisasi tertua di Indonesia, kaya pengalaman, pencetak para raksasa intelektual, banyak anggota dan alumni dan sebagainya. Meminjam ungkapan pengamat politik Fachry Ali (1996), pandangan-pandangan semacam ini seharusnya senantiasa dikritisi jikalau tidak menghendakinya menjadi sekedar mitos. Mitos berarti suatu bentuk kepercayaan berlebihan tetapi kosong tanpa isi. Hal yang diungkapkan Fachry Ali hendaknya dimaknai bersama oleh seluruh kader yang mengaku HMI sebagai upaya agar HMI dapat merenungkan kembali arah dan orientasinya dalam menghadapi persoalan-persoalan kontemporer dewasa ini. Untuk itu, HMI harus terlebih dahulu mengetahui dimana posisinya saat ini. Bahwa tanpa menyadari posisi HMI sekarang lewat refleksi sosiologis historis maka HMI hanya akan mengalami kegagalan dalam melihat kenyataan yang ada. HMI harus mampu mendeskripsikan lagi perjalanan organisasinya untuk dapat meningkatkan keunggulan komparatif sumber daya manusia (SDM) yang dimilikinya sekaligus eksis di tengah-tengah gerakan-gerakan sosial masyarakat yang sangat akseleratif. HMI telah dihujani berbagai macam kritikan mengenai sejauhmana peran eksistensinya saat ini di tengah zaman yang terus bergulir. Kritikan itu setidaknya penulis maknai bermuara pada tiga hal, pertama, macetnya proses reproduksi intelektual, kedua, menurunnya kritisisme (sosial responsibility) dan ketiga, terjadinya krisis nilai (Islam) dalam praktek empirik beroganisasi HMI. Oleh karena itu, dalam konteks ini HMI harus berupaya keras untuk merebut kembali tradisi intelektualisme sebagaimana telah diawali oleh Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo, Ahmad Wahib, Djohan Effendy, dkk sebagai sesuatu yang fadhu dengan menggerakkan proses reproduksi intelektual berupa para kader dan pengurusnya harus berprestasi di kampus dengan studi tepat waktu dan menghidupkan kembali kajian-kajian ilmiah, kemudian dengan modal intelektual tersebut kader HMI harus mampu mengambil peran populis di tengah-tengah dinamika kehidupan kemahasiswaan yang selama ini seakan hilang kekritisannya juga berperan dalam perubahan masyarakat dengan senantiasa memberikan manfaat serta berupaya memberikan kontribusi positif bagi memecahkan problematika keumatan yang ada.
Kader-kader HMI dituntut untuk memiliki pendidikan setinggi-tingginya, berwawasan luas, berpikir rasional, kritis dan objektif sekaligus bertanggung jawab atas terciptanya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT. Sehingga HMI tidak hanya sekedar \"tidur\" dan bersemedi di kantor-kantornya akan tetapi HMI bersama rakyat membangun peradaban yang kuat. Selanjutnya, para kader HMI harus senantiasa menginternalisasi dan mengoperasionalisasi spirit nilai ajaran Islam dalam segenap praktek berorganisasinya. Bagaimana bisa HMI mengaku Islam jika dalam praktek kesehariannya ada yang meninggalkan shalat atau bahkan tidak shalat, padahal shalat sebagai salah satu kewajiban seorang muslim? Jika HMI tidak segera berubah maka HMI lambat laun akan semakin tersingkir dari dinamika perubahan yang kompleks dimana HMI akan menjadi organisasi yang hanya mampu bertahan di pinggiran (pherifery) di tengah kondisi masyarakat yang terus berkembang dan mengalami perubahan. Dalam arti ber-HMI secara kontekstual zaman sekarang. Kader-kader HMI saat ini dituntut untuk tidak hanya menggantungkan eksistensinya pada kebesaran seniornya, berlindung di balik jubah keagungan sejarah HMI yang tidak dibuatnya namun ia terus asyik memparasitkan diri menghisap keberkahan darinya. Jika tidak, maka benar inilah potret kader HMI yang kehilangan kritisismenya, tuli terhadap memory of future (cita-cita masa depan) dan mengambil sikap resist to change (menolak perubahan).
Dalam konteks ini, almarhum Nurcholish Madjid pernah memberikan peringatan keras menjelang Kongres ke-23 HMI di Balikpapan tahun 2002. Dengan mengatakan bahwa apabila HMI tidak dapat melakukan perubahan, lebih baik membubarkan diri saja karena beliau melihat bahwa relevansi HMI bagi masa kini dan apalagi masa depan sudah jauh berkurang, kalaupun bukannya tidak ada lagi. HMI tidak lagi menjadi elemen penggerak kemajuan melainkan kekuatan status quo dan bahkan sebaliknya menggerakkan pada suatu kemunduran. Peringatan ini selayaknya dijadikan shock therapy bagi setiap kader HMI, dengan harapan, HMI mampu melakukan perubahan terhadap dirinya.
Dari sini diharapkan muncul semangat juang kader untuk mengembalikan HMI pada perannya sebagai organisasi perjuangan dan fungsinya sebagai organisasi kader yang dijalankan semestinya. Mengingat kondisi HMI kekinian yang semakin menua dengan tantangan yang tentu semakin berat.
Jadi, walaupun berbeda setting waktu dan situasi ketika HMI lahir 5 Februari 1947 dengan saat ini, namun orientasi, peran dan fungsi semestinya tetap dipegang teguh. Untuk menjawab persoalan keumatan dan kebangsaan dengan cara-cara yang tentu relatif berbeda. Perjuangan HMI kini jelas bukanlah angkat senjata/ bambu runcing vis a vis dihadapkan dengan imperialisme penjajah, maupun gerakan komunis secara fisik (PKI) (dalam Abdulrahman, 2008).
Masa depan HMI
Melihat kondisi riil HMI saat ini, serta tantangan internal dan eksternal yang dihadapi sangat kompleks sekali, maka keberadaan HMI di masa depan sebagaimana diungkapkan sejarawan HMI, Prof. DR. H. Agussalim Sitompul (2008), ada tiga kemungkinan: Pertama, HMI akan tetap eksis dan bangkit kembali dari kemunduran dan keterpurukan yang melanda selama lebih kurang 25 tahun. Hal ini dapat dicapai apabila HMI mampu melakukan perubahan, dengan agenda-agenda perubahan mendasar yang selama ini pondasi-pondasi penyangga HMI.
Kedua, HMI status qou. Keberadaan HMI akan tetap seperti sekarang dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Hal ini akan terjadi manakala HMI enggan melakukan perubahan, dan tantangan yang dihadapinya tak kunjung terselesaikan. Bahkan kondisi saat ini akan lebih parah lagi untuk masa-masa mendatang, apabila HMI tetap merasa dirinya sebagai organisasi mahasiswa terbesar dan tertua di Indonesia sebagai kesombongan historis yang kini menghinggapinya. Lebih daripada itu HMI tidak mau mendengar dan memperhatikan kritik yang konstruktif baik dari luar maupun dari intern HMI yang banyak dialamatkan pada HMI. Dimana kritikan dan saran perbaikan itu oleh PB HMI, Badan Koordinasi, Cabang-cabang, Koordinator Komisariat dan Komisariat-komisariat HMI di seluruh Indonesia dianggap angin lalu saja.
Ketiga, HMI akan hilang dari peredaran untuk tidak dikatakan bubar. Hal ini terlihat dimana hingga kini belum ada tanda-tanda perubahan ke arah perbaikan yang semestinya sesuai dengan tuntutan kontemporer.
Tentunya sebuah harapan besar akan perubahan telah menanti. Dengan momentum Dies Natalis/ Milad HMI ke-62 tahun pada hari ini diharapkan HMI mampu segera berubah untuk kembali bangkit dan berperan meminjam ungkapannya Sulastomo (2008) sebagai kader umat dan kader bangsa guna mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT. Amien. Bahagia HMI. Yakin Usaha Sampai!.

PERHATIAN : JIKA TERDAPAT LINK MUATURUN YANG GAGAL BERFUNGSI ATAU TERDAPAT MASALAH UNTUK MUATURUN MP3,KOMEN-KOMEN,SERTA CADANGAN-CADANGAN LAIN SILA NYATAKAN DALAM KOTAK KOMEN YANG TERDAPAT PADA SETIAP POST. KOTAK KOMEN TIDAK DIPAPARKAN PADA LAMAN UTAMA. KERJASAMA ANDA AMATLAH DIHARGAI.

Featured Video

SENARAI TETAMU KEHORMAT MUATURUN MP3 PERCUMA

Followers