Pembantaian
Westerling adalah sebutan untuk peristiwa pembunuhan ribuan rakyat
sipil di Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh pasukan Belanda Depot Speciale Troepen pimpinan Raymond Pierre Paul Westerling. Peristiwa ini terjadi pada bulan Desember 1946-Februari 1947 selama operasi militer Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan).
Raymond Pierre Paul Westerling (lahir
di Istanbul, Turki Utsmani, 31 Agustus 1919 – meninggal di Purmerend,
Belanda, 26 November 1987 pada umur 68 tahun) adalah komandan pasukan
Belanda yang terkenal karena memimpin Pembantaian Westerling
(1946-1947) di Sulawesi Selatan dan percobaan kudeta APRA di Bandung,
Jawa Barat.
Awal karier
Westerling
lahir sebagai anak kedua dari Paul Westerling (Belanda) dan Sophia
Moutzou (Yunani). Westerling, yang dijuluki "si Turki" karena lahir di
Istanbul, mendapat pelatihan khusus di Skotlandia. Dia masuk dinas
militer pada 26 Agustus 1941 di Kanada. Pada 27 Desember 1941 dia tiba
di Inggris dan bertugas di Brigade Prinses Irene di Wolverhampton,
dekat Birmingham. Westerling termasuk 48 orang Belanda sebagai angkatan
pertama yang memperoleh latihan khusus di Commando Basic Training
Centre di Achnacarry, di Pantai Skotlandia yang tandus, dingin dan tak
berpenghuni. Melalui pelatihan yang sangat keras dan berat, mereka
dipersiapkan untuk menjadi komandan pasukan Belanda di Indonesia.
Seorang instruktur Inggris sendiri mengatakan pelatihan ini sebagai:
"It's hell on earth" (neraka di dunia). Pelatihan dan pelajaran yang
mereka peroleh antara lain "unarmed combat" (perkelahian tangan kosong),
"silent killing" (penembakan tersembunyi), "death slide", "how to
fight and kill without firearms" (berkelahi dan membunuh tanpa senjata
api), "killing sentry" (membunuh pengawal) dan sebagainya. Setelah
bertugas di Eastbourne sejak 31 Mei 1943, maka bersama 55 orang
sukarelawan Belanda lainnya pada 15 Desember 1943 Sersan Westerling
berangkat ke India untuk betugas di bawah Laksamana Madya Mountbatten
Panglima South East Asia Command (Komando Asia Tenggara). Mereka tiba
di India pada 15 Januari 1944 dan ditempatkan di Kedgaon, 60 km di
utara kota Poona.
Pada 20 Juli 1946, Westerling diangkat menjadi
komandan pasukan khusus, Depot Speciale Troepen – DST (Depot Pasukan
Khusus). Awalnya, penunjukkan Westerling memimpin DST ini hanya untuk
sementara sampai diperoleh komandan yang lebih tepat, dan pangkatnya
pun tidak dinaikkan, tetap Letnan II (Cadangan). Namun dia berhasil
meningkatkan mutu pasukan menjelang penugasan ke Sulawesi Selatan, dan
setelah 'berhasil' menumpas perlawanan rakyat pendukung Republik di
Sulawesi Selatan, dia dianggap sebagai pahlawan namanya membubung
tinggi.
Latar belakang
Sementara
Perjanjian Linggarjati sedang berlangsung, di daerah-daerah di luar
Jawa dan Sumatera, tetap terjadi perlawanan sengit dari rakyat
setempat. Walaupun banyak pemimpin mereka ditangkap, dibuang dan bahkan
dibunuh, perlawanan rakyat di Sulawesi Selatan tidak kunjung padam.
Hampir setiap malam terjadi serangan dan penembakan terhadap pos-pos
pertahanan tentara Belanda. Para pejabat Belanda sudah sangat kewalahan,
karena tentara KNIL yang sejak bulan Juli menggantikan tentara
Australia, tidak sanggup mengatasi gencarnya serangan-serangan pendukung
Republik. Mereka menyampaikan kepada pimpinan militer Belanda di
Jakarta, bahwa apabila perlawanan bersenjata pendukung Republik tidak
dapat diatasi, mereka harus melepaskan Sulawesi Selatan.
Maka
pada 9 November 1946, Letnan Jenderal Simon Hendrik Spoor dan Kepala
Stafnya, Mayor Jenderal Dirk Cornelis Buurman van Vreeden memanggil
seluruh pimpinan pemerintahan Belanda di Sulawesi Selatan ke markas
besar tentara di Jakarta. Diputuskan untuk mengirim pasukan khusus dari
DST pimpinan Raymond Westerling untuk menghancurkan kekuatan
bersenjata Republik serta mematahkan semangat rakyat yang mendukung
Republik Indonesia. Westerling diberi kekuasaan penuh untuk melaksanakan
tugasnya dan mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu.
Pada
tanggal 15 November 1946, Letnan I Vermeulen memimpin rombongan yang
terdiri dari 20 orang pasukan dari Depot Pasukan Khusus (DST) menuju
Makassar. Sebelumnya, NEFIS telah mendirikan markasnya di Makassar.
Pasukan khusus tersebut diperbantukan ke garnisun pasukan KNIL yang
telah terbentuk sejak bulan Oktober 1945. Anggota DST segera memulai
tugas intelnya untuk melacak keberadaan pimpinan perjuangan Republik
serta para pendukung mereka.
Westerling
sendiri baru tiba di Makassar pada tanggal 5 Desember 1946, memimpin
120 orang Pasukan Khusus dari DST. Dia mendirikan markasnya di
Mattoangin. Di sini dia menyusun strategi untuk Counter Insurgency
(penumpasan pemberontakan) dengan caranya sendiri, dan tidak berpegang
pada Voorschrift voor de uitoefening van de Politiek-Politionele Taak
van het Leger - VPTL (Pedoman Pelaksanaan bagi Tentara untuk Tugas di
bidang Politik dan Polisional), di mana telah ada ketentuan mengenai
tugas intelijen serta perlakuan terhadap penduduk dan tahanan. Suatu
buku pedoman resmi untuk Counter Insurgency.
Operasi militer Tahap pertama
Aksi
pertama operasi Pasukan Khusus DST dimulai pada malam tanggal 11
menjelang 12 Desember. Sasarannya adalah desa Batua serta beberapa desa
kecil di sebelah timur Makassar dan Westerling sendiri yang memimpin
operasi itu. Pasukan pertama berkekuatan 58 orang dipimpin oleh Sersan
Mayor H. Dolkens menyerbu Borong dan pasukan kedua dipimpin oleh
Sersan Mayor Instruktur J. Wolff beroperasi di Batua dan Patunorang.
Westerling sendiri bersama Sersan Mayor Instruktur W. Uittenbogaard
dibantu oleh dua ordonan, satu operator radio serta 10 orang staf
menunggu di desa Batua.
Pada fase pertama, pukul 4
pagi wilayah itu dikepung dan seiring dengan sinyal lampu pukul 5.45
dimulai penggeledahan di rumah-rumah penduduk. Semua rakyat digiring ke
desa Batua. Pada fase ini, 9 orang yang berusaha melarikan diri
langsung ditembak mati. Setelah berjalan kaki beberapa kilometer,
sekitar pukul 8.45 seluruh rakyat dari desa-desa yang digeledah telah
terkumpul di desa Batua. Tidak diketahui berapa jumlahnya secara tepat.
Westerling melaporkan bahwa jumlahnya antara 3.000 sampai 4.000 orang
yang kemudian perempuan dan anak-anak dipisahkan dari pria.
Fase kedua dimulai,
yaitu mencari "kaum ekstremis, perampok, penjahat dan pembunuh".
Westerling sendiri yang memimpin aksi ini dan berbicara kepada rakyat,
yang diterjemahkan ke bahasa Bugis. Dia memiliki daftar nama
"pemberontak" yang telah disusun oleh Vermeulen. Kepala adat dan kepala
desa harus membantunya mengidentifikasi nama-nama tersebut. Hasilnya
adalah 35 orang yang dituduh langsung dieksekusi di tempat. Metode
Westerling ini dikenal dengan nama "Standrecht" – pengadilan (dan eksekusi) di
tempat. Dalam laporannya Westerling menyebutkan bahwa yang telah
dihukum adalah 11 ekstremis, 23 perampok dan seorang pembunuh.
Fase ketiga adalah
ancaman kepada rakyat untuk tindakan di masa depan, penggantian
Kepala desa serta pembentukan polisi desa yang harus melindungi desa
dari anasir-anasir "pemberontak, teroris dan perampok". Setelah itu
rakyat disuruh pulang ke desa masing-masing. Operasi yang berlangsung
dari pukul 4 hingga pukul 12.30 telah mengakibatkan tewasnya 44 rakyat
desa.
Demikianlah "sweeping ala Westerling". Dengan pola yang
sama, operasi pembantaian rakyat di Sulawesi Selatan berjalan terus.
Westerling juga memimpin sendiri operasi di desa Tanjung Bunga pada
malam tanggal 12 menjelang 13 Desember 1946. 61 orang ditembak mati.
Selain itu beberapa kampung kecil di sekitar desa Tanjung Bunga
dibakar, sehingga korban tewas seluruhnya mencapai 81 orang.
Berikutnya
pada malam tanggal 14 menjelang 15 Desember, tiba giliran Kalukuang
yang terletak di pinggiran kota Makassar, 23 orang rakyat ditembak
mati. Menurut laporan intelijen mereka, Wolter Monginsidi dan Ali
Malakka yang diburu oleh tentara Belanda berada di wilayah ini, namun
mereka tidak dapat ditemukan. Pada malam tanggal 16 menjelang tanggal
17 Desember, desa Jongaya yang terletak di sebelah tenggara Makassar
menjadi sasaran. Di sini 33 orang dieksekusi.
Tahap kedua
Setelah
daerah sekitar Makassar dibersihkan, aksi tahap kedua dimulai tanggal
19 Desember 1946. Sasarannya adalah Polobangkeng yang terletak di
selatan Makassar di mana menurut laporan intelijen Belanda, terdapat
sekitar 150 orang pasukan TNI serta sekitar 100 orang anggota laskar
bersenjata. Dalam penyerangan ini, Pasukan DST menyerbu bersama 11
peleton tentara KNIL dari Pasukan Infanteri XVII. Penyerbuan ini
dipimpin oleh Letkol KNIL Veenendaal. Satu pasukan DST di bawah pimpinan
Vermeulen menyerbu desa Renaja dan Komara. Pasukan lain mengurung
Polobangkeng. Selanjutnya pola yang sama seperti pada gelombang pertama
diterapkan oleh Westerling. Dalam operasi ini 330 orang rakyat tewas
dibunuh.
Tahap ketiga
Aksi tahap
ketiga mulai dilancarkan pada 26 Desember 1946 terhadap Gowa dan
dilakukan dalam tiga gelombang, yaitu tanggal 26 dan 29 Desember serta
3 Januari 1947. Di sini juga dilakukan kerjasama antara Pasukan
Khusus DST dengan pasukan KNIL. Korban tewas di kalangan penduduk
berjumlah 257 orang.
Pemberlakuan keadaan darurat
Untuk
lebih memberikan keleluasaan bagi Westerling, pada 6 Januari 1947
Jenderal Simon Spoor memberlakukan noodtoestand (keadaan darurat) untuk
wilayah Sulawesi Selatan. Pembantaian rakyat dengan pola seperti yang
telah dipraktekkan oleh pasukan khusus berjalan terus dan di banyak
tempat, Westerling tidak hanya memimpin operasi, melainkan ikut menembak
mati rakyat yang dituduh sebagai teroris, perampok atau pembunuh.
Pertengahan
Januari 1947 sasarannya adalah pasar di Parepare dan dilanjutkan di
Madello, Abbokongeng, Padakkalawa, satu desa tak dikenal, Enrekang,
Talabangi, Soppeng, Barru, Malimpung, dan Suppa.
Setelah itu,
masih ada beberapa desa dan wilayah yang menjadi sasaran Pasukan Khusus
DST tersebut, yaitu pada tanggal 7 dan 14 Februari di pesisir Tanete,
pada tanggal 16 dan 17 Februari di desa Taraweang dan
Bornong-Bornong. Kemudian juga di Mandar, di mana 364 orang penduduk
tewas dibunuh. Pembantaian para "ekstremis" bereskalasi di Kulo,
Amparita dan Maroangin di mana 171 penduduk dibunuh tanpa sedikit pun
dikemukakan bukti kesalahan mereka atau alasan pembunuhan.
Selain
itu, di aksi-aksi terakhir, tidak seluruhnya "teroris, perampok dan
pembunuh" yang dibantai berdasarkan daftar yang mereka peroleh dari
dinas intel, melainkan secara sembarangan orang-orang yang sebelumnya
ada di tahanan atau penjara karena berbagai sebab, dibawa ke luar dan
dikumpulkan bersama terdakwa lain untuk kemudian dibunuh.
H.C.
Kavelaar, seorang wajib militer KNIL, adalah saksi mata pembantaian di
alun-alun di Tanette, di mana sekitar 10 atau 15 penduduk dibunuh.
Dia menyaksikan, bagaimana Westerling sendiri menembak mati beberapa
orang dengan pistolnya, sedangkan lainnya diberondong oleh peleton DST
dengan sten gun.
Di semua tempat, pengumpulan data mengenai
orang-orang yang mendukung Republik, intel Belanda selalu dibantu oleh
pribumi yang rela demi uang dan kedudukan. Pada aksi di Gowa, Belanda
dibantu oleh seorang kepala desa, Hamzah, yang tetap setia kepada
Belanda.
Peristiwa Galung Lombok
Peristiwa
maut Galung Lombok terjadi pada tanggal 2 Februari 1947. Ini adalah
peristiwa pembantaian Westerling, yang telah menelan korban jiwa
terbesar di antara semua korban yang jatuh di daerah lain sebelumnya.
Pada peristiwa itu, M. Joesoef Pabitjara Baroe (anggota Dewan Penasihat
PRI) bersama dengan H. Ma'roef Imam Baroega, Soelaiman Kapala Baroega,
Daaming Kapala Segeri, H. Nuhung Imam Segeri, H. Sanoesi, H. Dunda,
H. Hadang, Muhamad Saleh, Sofyan, dan lain-lain, direbahkan di ujung
bayonet dan menjadi sasaran peluru. Setelah itu, barulah menyusul
adanya pembantaian serentak terhadap orang-orang yang tak berdosa yang
turut digiring ke tempat tersebut.
Semua itu belum termasuk
korban yang dibantai habis di tempat lain, seperti Abdul Jalil Daenan
Salahuddin (Qadhi Sendana), Tambaru Pabicara Banggae, Atjo Benya
Pabicara Pangali-ali, ketiganya anggota Dewan Penasihat PRI, Baharuddin
Kapala Bianga (Ketua Majelis Pertahanan PRI), Dahlan Tjadang (Ketua
Majelis Urusan Rumah Tangga PRI), dan masih banyak lagi. Ada pula yang
diambil dari tangsi Majene waktu itu dan dibawa ke Galung Lombok lalu
diakhiri hidupnya.
Sepuluh hari setelah terjadinya peristiwa
yang lazim disebut Peristiwa Galung Lombok itu, menyusul penyergapan
terhadap delapan orang pria dan wanita, yaitu Andi Tonra (Ketua Umum
PRI), A. Zawawi Yahya (Ketua Majelis Pendidikan PRI), Abdul Wahab Anas
(Ketua Majelis Politik PRI), Abdul Rasyid Sulaiman (pegawai kejaksaan
pro RI), Anas (ayah kandung Abdul Wahab), Nur Daeng Pabeta (kepala
Jawatan Perdagangan Dalam Negeri), Soeradi (anggota Dewan Pimpinan
Pusat PRI), dan tujuh hari kemudian ditahan pula Ibu Siti Djohrah Halim
(pimpinan Aisyah dan Muhammadiyah Cabang Mandar), yang pada masa PRI
menjadi Ketua Majelis Kewanitaan.
Dua di antara mereka yang
disiksa adalah Andi Tonran dan Abdul Wahab Anas. Sedangkan Soeradi
tidak digiring ke tiang gantungan, melainkan disiksa secara bergantian
oleh lima orang NICA, sampai menghebuskan nafas terakhir di bawah
saksi mata Andi Tonra dan Abdul Wahab Anas.
Pasca operasi militer
Jenderal
Spoor menilai bahwa keadaan darurat di Sulawesi Selatan telah dapat
diatasi, maka dia menyatakan mulai 21 Februari 1947 diberlakukan
kembali Voorschrift voor de uitoefening van de Politiek-Politionele Taak
van het Leger - VPTL (Pedoman Pelaksanaan bagi Tentara untuk Tugas di
bidang Politik dan Polisional), dan Pasukan DST ditarik kembali ke
Jawa.
Dengan keberhasilan menumpas para ekstrimis, di kalangan
Belanda baik militer mau pun sipil reputasi Pasukan Khusus DST dan
komandannya, Westerling melambung tinggi. Media massa Belanda
memberitakan secara superlatif. Ketika pasukan DST tiba kembali ke
Markas DST pada 23 Maret 1947, mingguan militer Het Militair Weekblad
menyanjung dengan berita: "Pasukan si Turki kembali." Berita pers
Belanda sendiri yang kritis mengenai pembantaian di Sulawesi Selatan
baru muncul untuk pertama kali pada bulan Juli 1947.
Kamp DST
kemudian dipindahkan ke Kalibata, dan setelah itu, karena dianggap
sudah terlalu sempit, selanjutnya dipindahkan ke Batujajar dekat
Cimahi. Pada bulan Oktober 1947 dilakukan reorganisasi di tubuh DST dan
komposisi Pasukan Khusus tersebut kemudian terdiri dari 2 perwira
dari KNIL, 3 perwira dari KL (Koninklijke Leger), 24 bintara KNIL, 13
bintara KL, 245 serdadu KNIL dan 59 serdadu KL. Pada tanggal 5 Januari
1948, nama DST dirubah menjadi Korps Speciale Troepen – KST (Korps
Pasukan Khusus) dan kemudian juga memiliki unit parasutis. Westerling
memegang komando pasukan yang lebih besar dan lebih hebat dan
pangkatnya menjadi Kapten.
Korban
Berapa
ribu rakyat Sulawesi Selatan yang menjadi korban keganasan tentara
Belanda hingga kini tidak jelas. Tahun 1947, delegasi Republik
Indonesia menyampaikan kepada Dewan Keamanan PBB, korban pembantaian
terhadap penduduk, yang dilakukan oleh Kapten Raymond Westerling sejak
bulan Desember 1946 di Sulawesi Selatan mencapai 40.000 jiwa.
Pemeriksaan
Pemerintah Belanda tahun 1969 memperkirakan sekitar 3.000 rakyat
Sulawesi tewas dibantai oleh Pasukan Khusus pimpinan Westerling,
sedangkan Westerling sendiri mengatakan, bahwa korban akibat aksi yang
dilakukan oleh pasukannya "hanya" 600 orang.
Perbuatan
Westerling beserta pasukan khususnya dapat lolos dari tuntutan
pelanggaran HAM Pengadilan Belanda karena sebenarnya aksi terornya yang
dinamakan contra-guerilla, memperoleh ijin dari Letnan Jenderal Spoor
dan Wakil Gubernur Jenderal Dr. Hubertus Johannes van Mook. Jadi yang
sebenarnya bertanggungjawab atas pembantaian rakyat Sulawesi Selatan
adalah Pemerintah dan Angkatan Perang Belanda.
Pembantaian
tentara Belanda di Sulawesi Selatan ini dapat dimasukkan ke dalam
kategori kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity), yang
hingga sekarangpun dapat dimajukan ke pengadilan internasional, karena
untuk pembantaian etnis (Genocide) dan crimes against humanity, tidak
ada kadaluarsanya. Perlu diupayakan, peristiwa pembantaian ini
dimajukan ke International Criminal Court (ICC) di Den Haag, Belanda.