:: Untuk Muaturun MP3 Kegemaran Anda, Klik Kiri Pada Tajuk Lagu. Anda Kemudiannya Akan Dibawa Ke Halaman Untuk Memuaturun MP3 Tersebut ::

Minggu, 23 Desember 2012

Suatu Malam, Kunjungan ‘Nenek’ ke Dipo 16A


Diceritakan oleh Arip Musthopa, Ketum PB HMI 2008-2010

Senin 5 Oktober 2009, selesai rapat harian PB HMI kira-kira pukul 24.00, aku terlelap di atas kursi “kebesaran” Ketum PB HMI di ruang rapat Dipo 16A. Antara lelah dan kantuk dan antara mimpi dan sadar. Titik kulminasi dari hari yang melelahkan pasca mengurusi pemberangkatan relawan ke Sumbar. Menyusul gempa 7,6 skala richter yang kini telah menewaskan sekitar seribu orang dan menimbulkan kerugian ratusan miliar rupiah. Seluruh negeri berduka, begitupun jiwaku yang nelongso mendengar impact dari gempa tersebut.

Belakangan aku tahu dari seorang kolega di Singapura bahwa Straits Times Singapore menulis bahwa SBY unlucky dan kemudian membuat kepanjangan SBY menjadi Selalu Bencana Yeh… Tapi aku yakin SBY itu lucky karena gak mungkin bila unlucky bisa menjadi jenderal, memiliki isteri anak jenderal, keluarga yang harmonis, menjadi menteri, dan kemudian presiden untuk dua periode. Nampaknya agak gak nyambung secara rasional kalau mau mengkaitkan bencana alam dengan SBY. Kalaupun iya, apakah dosanya demikian besar sehingga membawa unlucky dan rakyat yang dipimpinnya tidak berdosa? Jangan-jangan unlucky itu datangnya dari rakyatnya SBY yang terlalu banyak dosa sehingga membawa unlucky? Duh kasiah deh SBY kalau gitu. Wallau a’lam.

Kembali ke Senin 12 Oktober 2009 malam, diantara sadar dan tidak itu, tiba-tiba menjelma dihadapanku sesosok nenek tua dihadapanku. Nenek tua, pasti keriput, yang masih meninggalkan jejak kecantikannya itu kira-kira berumur 63 tahun. Aku sempat kaget namun senyumnya yang mengembang mengawali dialog kami menyingkirkan ketakutanku seketika. “Cung”, katanya dengan suara bergetar dan penuh emosi. Belum sempat aku menjawab, dia berkata lagi, “Cung”. “Iya Nek”, jawabku penuh keheranan dan dengan nada terbata-bata.

“Kamu capek Cung?”, katanya. “Sabar ya Cung, nenek tahu kamu lelah. Lebih baik kamu tidur dulu daripada kamu langsung pulang, menyetir mobil sambil ngantuk, nanti kamu nabrak lagi seperti waktu tiga hari sebelum lebaran”. Seketika aku makin heran, kok nenek ini tahu ya…”Kok nenek tahu, nenek ini siapa?” tanyaku untuk menghilangkan keherananku dan membuang keraguan bahwa dialog ini sia-sia. “Tak usah kamu tahu Cung, tapi nenek tahu semua yang kamu lakukan dan juga organisasimu. Bahkan pengurusmu dan juga alumni organisasimu Cung. Terkadang nenek kasihan melihat kamu, makanya nenek datangi kamu. Nenek ingin menghibur kamu Cung”. “Hiburan? Memang hiburan apa yang bisa diberikan nenek ini?”, pikirku ketus. Ada-ada saja, ngomong aja susah!

“Jangan meremehkan nenek Cung, meski tidak bisa menghibur, nenek kan bisa kamu jadikan tempat curhat (senyumnya mengembang), InsyaAllah nenek akan doakan dengan tulus dan mudah-mudahan doa nenek dikabulkan Allah”, seketika aku lemas. Nenek yang dihadapanku ternyata bukan sembarang nenek, dia tahu bukan hanya kejadian di masa lalu namun juga apa yang ada dalam hati dan pikiranku. Belum sempat aku bicara, nenek kembali berkata,”Cung, menjadi pemimpin itu memang tidak mudah. Namun Tuhan akan menolong kamu kalau kamu luruskan niatmu, memimpin dengan ikhlas, menjadikannya ibadah dan perjuangan. Tak usah kamu berpikir banyak tentang dirimu sendiri. Kamu pikirkan dan berbuat untuk anggota, keluarga besar, umat dan bangsamu, InsyaAllah nasibmu akan dipikirkan orang lain. Kalau kamu menolong orang banyak, maka orang banyak pula yang akan menolongmu. Tak usah ragu dengan itu Cung!”. “Baik nek”, kataku, pelan dan datar.

“Cung, apa yang kamu lakukan selama satu tahun ini sudah cukup bagus. Tapi Cung, itu belum seberapa dari yang dibutuhkan oleh organisasi dan keluarga besar HMI. Kamu masih harus bekerja keras dan membuat hal-hal yang lebih fundamental menyentuh perbaikan organisasi. Visi besarmu untuk mentransformasi organisasi sehingga sesuai dengan konstruksi peradaban abad XXI sangat bagus dan mulia. Tapi kamu harus berbenturan dengan budaya dan kepentingan kotor yang banyak meliputi organisasimu. Meski begitu, kamu harus yakin Cung, karena anggotamu itu orang yang pintar-pintar dan masih muda sehingga mudah menyesuaikan diri”.

“Cung, kamu harus bebaskan juga Diponegoro 16A ini dari kepemilikan pihak lain. Ada aspek historis dan nilai strategis yang sulit dicari duanya dari kantor ini Cung. Kan tidak butuh banyak hanya sekitar Rp5 milyar (he he) agar PB HMI dapat menguasai semua ruang di Dipo 16A. Nenek yakin kamu bisa. Kan alumnimu kaya-kaya dan para pejabat lagi Cung (Nenek ekspresikan dengan senyum merekah dan penuh optimisme)”. “Wah mereka bisa kualat kalau tidak membantu kamu Cung!”. “Nenek tahu banyak diantara mereka datang dan menjadi fungsionaris di PB HMI dengan bermodalkan semangat dan kebaikan dari para seniornya”. “Nenek tahu banyak yang dulunya hidup seadanya kini telah menjadi orang penting dan terkenal. Tidak sedikit dari mereka memiliki kekayaan yang nilainya jauh lebih besar dari keseluruhan aset HMI”. “Kamu minta tolong saja sama mereka Cung, tak perlu nenek sebutkan siapa saja mereka kan?” kata nenek setengah bertanya.

“Tapi mereka kan memiliki keluarga yang harus dihidupi, gaya hidup yang mahal, dan energi mereka terkuras ke pekerjaan dan karier mereka sehingga jangankan terpikirkan untuk membangun Dipo 16A, untuk membalas SMS saya atau memberikan saya waktu ketemu saja susah Nek. Itulah susahnya meminta tolong mereka Nek,” timpalku dengan nada pesimis dan memelas. “he he Itulah yang juga kerap nenek sedihkan, kok mereka lupa bahwa mereka bisa kariernya cemerlang dan kaya karena ilmu, pengalaman, dan koneksi HMI”. “Jangan-jangan kini mereka datang saja enggan ke kantor ini kecuali kalian undang dengan setengah memaksa?!”. “Apa nenek perlu doakan mereka yang mengacuhkan kamu dan HMI agar ‘tersungkur’ sehingga menyadari pentingnya menjaga mata air HMI dan terus membesarkannya?”, tanya nenek. “HMI kan aset umat Islam dan bangsa Indonesia”, tambah nenek, kurasakan sedikit nada kesal dalam kata-katanya. Segera ku menjawab, “jangan nek. Jangan! Biarlah mereka begitu, Allah maha adil, toh HMI tidak perlu belas kasihan dari orang yang tidak peduli itu. Tidak berkah nek,” tegasku.

“Cucung memang menginginkan sekretariat PB HMI yang modern, berwibawa di Dipo 16A ini. Sewibawa sejarah HMI itu sendiri. Dengan sekretariat yang lengkap, bersih, dan indah insyaAllah kinerja dan cara berpikir fungsionaris PB HMI bisa lebih jernih, giat, produktif, dan konstruktif. Sekarang, nenek tahu sendiri, kami berdesak-desakan. Yang gak enak kalau ada tamu orang asing ketika kami kenalkan bahwa HMI telah berumur hampir 63 tahun, memiliki alumni-alumni yang menjadi Wapres, Ketua DPR, sejumlah pengusaha, menteri-menteri, memiliki jumlah anggota yang besar, dan lain-lain, tapi kok sekretariatnya sesederhana ini….dengan fasilitas yang juga sederhana”. “Untung ada wifi jadi agak modern (sedikit) nek he he” kataku. Kulihat nenek juga sedikit tertawa.

“Cung…Cung. Ya udahlah kamu jangan pernah menyerah. Tetap semangat dan terus bekerja. Nenek akan doakan khusus agar sekretariat kamu ini dapat kamu bebaskan dari kepemilikan pihak lain. Kalau waktu kepengurusanmu cukup, mungkin juga kamu bisa mulai membangunnya.” Kata nenek penuh simpati. “Amiin nek, amiin”, balasku.

“Bang! Bang! kenapa bang?”, seorang fungsionaris PB HMI membangunkanku. “tadi abang ngigau-ngigau, abang bilang nenek, nenek siapa bang?”. “mana nenek tadi?”, kataku. “nenek apa bang?” “Yah nenek…”


PERHATIAN : JIKA TERDAPAT LINK MUATURUN YANG GAGAL BERFUNGSI ATAU TERDAPAT MASALAH UNTUK MUATURUN MP3,KOMEN-KOMEN,SERTA CADANGAN-CADANGAN LAIN SILA NYATAKAN DALAM KOTAK KOMEN YANG TERDAPAT PADA SETIAP POST. KOTAK KOMEN TIDAK DIPAPARKAN PADA LAMAN UTAMA. KERJASAMA ANDA AMATLAH DIHARGAI.

Featured Video

SENARAI TETAMU KEHORMAT MUATURUN MP3 PERCUMA

Followers